2.1.
Cacat
Pada Postulat Euclid
Semua postulat membawa apa yang disebut dengan pembuktian diri (self-evidence).
Postulat kelima dibuktikan oleh Euclid tanpa memberikan cara pembuktian. Upaya
pertama untuk membuktikan postulat kesejajaran ini dilakukan oleh Girolamo
Saccheri, pendeta Jesuit berkebangsaan Italia, yang mendukung Euclid dengan menerbitkan buku
berjudul Euclides ab omni naevo vindicatus (“Euclid bebas dari semua
kesalahan”) pada tahun 1733. Buku tersebut tidak dapat menuntaskan
kesalahan Euclid. Matematikawan terkemuka Jerman, Gauss, pertama kali menemukan
kesalahan postulat kelima tetapi malu
mempublikasikannya (merasa belum tuntas), sehingga kehormatan diberikan
kepada dua matematikawan lain yang mengungkapkannya dengan cara berbeda. Janos Bolyai dari Hongaria dan Nicolai Lobachevsky dari Rusia secara
terpisah mampu membuktikan cacat postulat kelima Euclid dengan cara berbeda
pula.
Penemuan kesalahan ini membuat berkembangnya geometri model baru. Dirintis oleh Beltrami dari Italia, disusul Cayley dari Inggris, Poincare
dari Perancis dan Felix Klein dari Jerman. Terakhir, dirombak, diubah dan
dilakukan penyesesuaian kecil terhadap postulat-postulat Euclid oleh [Bernhard]
Riemann dari Jerman sehingga muncul bentuk-bentuk baru: hiperbola, parabola,
elips yang merupakan jawaban bahwa alam semesta bukanlah pengikut aliran Euclid
(non-Euclidian).
2.2.
Tiga
Problem Matematika Klasik
Para matematikawan sejak dahulu berkutat dengan tiga problem yang tidak
dapat dipecahkan pada masa itu. Memang ketiga problem itu menjadi mudah setelah
ada “campur-tangan” para matematikawan modern yang terus menyempurnakan
alat-alat matematika. Adapun ketiga problem ini adalah:
1. Persamaan pangkat tiga (kubik)
4x³ - 3x - a = 0
a adalah
angka tertentu. Saat itu Yunani tidak mengenal pangkat tiga (kubik). Dengan
menggunakan penggaris dan kompas mereka hanya mampu menyelesaikan persamaan
linier (pangkat 1) dan persamaan kuadrat (pangkat 2).
2. Menggandakan kuadrat
2x³ = y³ atau x³ = 2.
Problem yang
tidak dapat dipecahkan terjadi karena sebuah legenda. Bangsa Athena, menurut
cerita, melakukan konsultasi dengan Oracle (tempat dibangun kuil dan tempat
dewa bersabda) sebelum melakukan kampanye perang dan dijawab bahwa untuk
mempertahankan kejayaan mereka harus menggandakan lebar altar pemujaan
terhadap dewa Apollo (Anak Zeus yang dipercayai oleh ayahnya untuk
menyingkapkan keputusan-keputusan ayahhandanya bagi umat manusia), yang
berbentuk kubus. Mereka segera membuat altar
dengan dua kali panjang, dua kali lebar dan dua kali tinggi dibanding altar
aslinya.
Percaya
bahwa mereka sudah memenuhi keinginan Oracle, mereka dengan penuh percaya diri
menuju perang – dan kalah. Ternyata, mereka membuat altar
delapan kali besarnya, bukan 2 kali.
3. Menggambar lingkaran.
Karena tidak ada alat yang
tersedia, pada saat itu, tidaklah dimungkinkan menggambar lingkaran bahkan
dinyatakan dalam bentuk persamaan aljabar. Problem menyangkut menentukan
besaran π (pi), nisbah antara lingkaran dan diameter. Kendala datang
dari π yang merupakan bilangan irrasional sekaligus transendental (bukan
bilangan yang dapat diekspresikan dalam bentuk aljabar). Sulit memahami alam tanpa kehadiran bilangan ini. Ada 2 bilangan transendental
yang sangat terkenal: π dan ℮).
Ketiga problem klasik ini akan selalu membayangi kiprah para matematikawan.
Tidak terkecuali Euclid, tanpa pernah dapat menyelesaikan. Matematikawan
berikutnya akan selalu menghadapi dan berupaya memecahkan ketiga problem
tersebut. Penyelesaian suatu problem
berarti memperoleh nama baik sekaligus prestasi. Tidak jarang terjadi
kecurangan, saling “curi” ide, penghianatan. Dan hal ini selalu terjadi di
jaman dulu sampai jaman sekarang. Banyak contoh dapat dibaca pada
riwayat-riwayat para matematikawan selanjutnya.
Euclid
dan Bilangan Prima
Euclid, seperti matematikawan jaman sekarang, mempelajari bilangan prima,
mencari untuk menentukan bilangan mana yang masuk kategori prima atau bukan. Euclid tidak pernah dapat menentukan bilangan prima, tetapi dia mampu
memberikan jawaban tentang bilangan prima. Banyaknya bilangan prima itu adalah
tidak terhingga.
Anak SD sekarang sudah terbiasa dengan bilangan prima. Dari angka 2 sampai dengan 50 terdapat 15 bilangan prima (2, 3, 5, 7, 11,
13, 17, 19 , 23, 29, 31, 37, 41, 43, 47) ; dari 50 sampai dengan 100 hanya 10 bilangan
prima.
Euclid membuat pernyataan: jika bilangan prima terbesar adalah n, maka
pasti ada bilangan > n, di mana dapat dicari dengan menggunakan 1 x 2 x 3
dan seterusnya sampai n, kemudian ditambah 1 untuk mendapatkan hasilnya. Simbol
matematika untuk mengekspresikan adalah n! + 1 (n faktorial ditambah 1).
0 komentar:
Posting Komentar